Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan
Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia. Jakarta: Mizan, 2012. 481 halaman.
Buku
karya Jajat Burhanudin ini layak mendapatkan apresiasi, tidak saja karena
meraih Islamic Book Fair Award pada tahun 2013 untuk kategori buku Islam
non-fiksi terbaik, tetapi ulasannya yang ensiklopedis mengenai tema ulama di
Nusantara-Indonesia, sebagaimana yang dikemukakan oleh sejarawan Taufik
Abdullah.
Bagi
umat Muslim, termasuk di Indonesia, ulama memainkan peran yang penting. Tidak
saja dalam hal keagamaan, tetapi juga mencakup bidang-bidang lainnya, seperti
sosial, politik dan budaya. Bahkan Clifford Geertz sendiri menyebut ulama/kiai
sebagai pialang budaya (cultural broker).[1]
Sayangnya, pentingnya ulama ini belum diimbangi dengan studi-studi yang mencoba
mendedah peran keulamaan secara historis di bumi Indonesia ini. Di sinilah arti
penting kehadiran buku ini. Ditulis dengan pendekatan sejarah intelektual
dengan rentang waktu historis lima abad (17 hingga 20). Sungguh merupakan
sebuah kerja besar jika ulama dilihat dalam spektrum sejarah yang luas itu,
namun di tangan penulisnya, yang merupakan hasil dari studi untuk disertasinya,
menjadi sebuah karya yang bersifat ensiklopedik. Di dalamnya dikupas baik
selintas maupun rinci berbagai aspek dan dinamika keulamaan di Indonesia.
Buku
ini mencoba menelusuri upaya para ulama membangun peran dan legitimasi
sosio-intelektual dan budaya mereka di Indonesia. Hal penting yang perlu
ditekankan adalah peran dan posisi strategis tersebut tidak datang tiba-tiba,
tetapi hasil perjuangan panjang melewati berbagai proses perubahan
sosial-politik dalam konteks sejarah Indonesia.
Ringkasan
Buku
Buku
ini terbagi atas sepuluh bab, termasuk di dalamnya pendahuluan. Pembahasan
ulama dimulai pada bab dua, yang memfokuskan pada periode kerajaan-kerajaan
Islam Nusantara pra-kolonial, ketika ulama memainkan peran penting sebagai
hakim (kadi/qadi) dan syaikhul Islam, untuk memperkuat
pelaksanaan Islam di dalam kerajaan. Ulama menjadi elit agama dan menjadi
bagian dari elit yang berkuasa di kerajaan. Ketika kerajaan-kerajaan Islam jatuh,
yang sebagian disebabkan karena hadirnya perusahaan-perusahaan Barat dalam
jaringan perdagangan Nusantara, khususnya yang berasal dari Belanda, yakni Vreenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC), ulama lalu mengalami transformasi dari
pejabat di istana kerajaan menjadi pemimpin lembaga pendidikan Islam yang
mereka bangun di luar wilayah kerajaan. Ulama mendirikan pesantren, surau, atau
dayah (bab 3).
Dengan
tumbuhnya pesantren, surau,[2]
dan dayah, ulama tetap memiliki fondasi institusionalnya yang kemudian
memberikan otoritas keagamaan. Hal ini selanjutnya didukung dengan intensifnya
komunitas Jawi, yang menghubungkan ulama Nusantara dengan Timur Tengah.[3]
Komunitas Jawi berkontribusi besar dalam membuat Makkah pada akhir abad ke-19
menjadi pusat kehidupan keagamaan di
Hindia Timur (Indonesia). Sebagaimana yang telah juga ditunjukkan oleh Azra,[4]
Makkah muncul sebagai tujuan intelektual di mana ulama belajar Islam dan
kemudian mentransmisikannya ke Nusantara, melalui pesantren, surau, dan dayah
yang menjadi basis gerakannya (bab 4).
Ulama
menjadi komunitas yang berbeda, ketika kebijakan kolonial diarahkan untuk
menciptakan elit agama baru yang tunduk dan dibesarkan dalam lingkungan kolonial,
yakni penghulu. Karena terkait dengan keterlibatan sebagian mereka dalam
gerakan protes melawan kolonialisme, Ulama, di lain pihak hidup di wilayah
pedesaan dan di luar pengetahuan kolonial (bab 5). Akhirnya ulama melalui
pesantrennya muncul sebagai sebuah “komunitas santri,” yang pemaknaannya tidak
lagi terbatas pada pelajar pesantren, tetapi sebagai sebuah komunitas yang
mengidentifikasi diri ke dalam sikap sosial dan bahasa agama yang berbeda dari
penghulu (elit agama yang diangkat Belanda) dan priyayi atau aristokrat pribumi
(bab 6).
Ketika
tampil sebagai komunitas,
ulama
menjadi tokoh sentralnya, mereka mampu merespon berbagai perubahan di Hindia
Belanda pada awal abad ke-20. Dengan datangnya modernisasi, terkait dengan
munculnya reformisme Islam karena perubahan jaringan intelektual dari Makkah ke
Kairo Mesir,[5]
ulama menghadapi gelombang kuat perubahan agama dan sosial yang menyerang
otoritas mereka sebagai ahli Islam di tengah-tengah Muslim Indonesia (bab 7 dan
8). Di tengah-tengah perubahan tersebut, ulama tetap mampu melanjutkan
keberadaannya di Hindia Belanda melalui perumusan apa yang disebut dengan
“tradisi Islam,” dan modernisasi pusat-pusat pengajaran Islam, yakni pesantren[6]
yang menjadi salah satu pilar dasar keberadaan mereka (bab 9). Hal ini juga
berlanjut di
masa Indonesia kontemporer. Dengan modal kultural dan sosial, ulama mampu
mempertahankan posisi penting mereka dalam masyarakat dan politik Indonesia
modern (bab 10).
Sejarah
Intelektual
Mendiskusikan
ulama Indonesia-Nusantara, orang tidak akan melewatkan karya Azyumardi Azra
mengenai jaringan ulama di Kepulauan Nusantara dengan Timur Tengah yang telah
banyak menjadikan rujukan, termasuk Ulama dan Kekuasaan ini. Burhanudin
sendiri menyebut karyanya ini,
dalam
beberapa hal adalah
mengembangkan studi Azra tentang jaringan antara ulama Nusantara abad ke-17 dan
ke-18. Pertanyaan yang muncul adalah: apa yang dikembangkan dari studi Azra
tersebut? Kita kehilangan informasi dari Burhanudin sendiri tentang jawaban ini.
Sebagaimana
sudah banyak disinggung, bahwa studi Azra terfokus pada abad ke-17 dan ke-18. Ia
tidak masuk dalam pembahasan abad ke-19 dan apalagi abad ke-20. Pembahasan abad
ke-17 dan ke-18 mendapatkan tempat tidak lebih dari 2 bab dalam Ulama dan
Kekuasaan. Memang, dalam edisi terbarunya, Azra juga menyinggung tentang
perkembangan abad ke-19 dan ke-20 dari jaringan ulama, tetapi itu
sifatnya hanya sekilas saja. Jadi dapat juga dikatakan, yang dimaksudkan dengan
“melanjutkan” atas studi Azra oleh Burhanudin adalah melanjutkan dalam hal
pembahasan pada tingkat perkembangan waktunya. Namun, dapat juga bermaksud lain, yakni
mengisi kekosongan pembahasan dalam hal pertanyaan studi yang tidak diajukan
oleh Azra, juga dalam hal pendekatan teoritik yang digunakan oleh Burhanudin.
Studi
Azra mengisi celah kurangnya studi tentang transmisi dan penyebaran gagasan
pembaruan Islam, khususnya pada masa menjelang ekspansi kekuasaan Eropa dalam
abad ke-17 dan ke-18, terlebih jika dikaitkan dengan perjalanan Islam di
Nusantara. Lebih lanjut Azra mendebat gagasan Geertz dalam The Religion of
Java yang berpandangan bahwa tradisi Islam di Nusantara tidak mempunyai
ikatan dengan Islam Timur Tengah. Azra lalu berargumen bahwa hubungan antara
kaum Muslim di kawasan Melayu-Indonesia dan Timur Tengah telah terjalin sejak
masa-masa awal Islam, dan sejak abad ke-17 hubungan di antara kedua wilayah
Muslim ini umumnya bersifat keagamaan dan keilmuan, meskipun ada juga
hubungan-hubungan yang bersifat politik antara kerajaan Islam Nusantara dengan
Dinasti Utsmani.[7] Ia
mengajukan pertanyaan lebih pada bagaimana jaringan keilmuan terbentuk di
antara ulama Timur Tengah dengan murid-murid Melayu-Indonesia? Apa saja wacana
intelektual yang berkembang dalam jaringan tersebut? Apa peran ulama
Melayu-Indonesia dalam jaringan dan apa dampak lebih jauh dari
jaringan tersebut? Karenanya, Azra menempatkan kajiannya sebagai kajian sejarah
sosial intelektual Islam,[8]
dan dalam tingkat tertentu menjadi ‘sejarah global,’ yakni pandangan
bahwa, perkembangan historis di suatu wilayah tertentu tidaklah terjadi dan
berlangsung dalam situasi vakum dan isolatif.[9]
Burhanudin
dalam Ulama dan Kekuasaan sebenarnya mempunyai asumsi yang sama, yakni
jaringan ulama dengan Timur Tengah memegang peranan penting. Ia berfungsi
sebagai sumber tradisi intelektual ulama, dan menjadi landasan mereka terlibat
dalam penerjemahan Islam di arena kolonial Indonesia, karenanya membentuk
otoritas keagamaan di tengah-tengah Muslim. Tetapi rekonstruksi, reformulasi,
dan modifikasi tradisi itu melalui proses-proses historis yang memerlukan
penjelasan. Oleh karena itu Burhanudin berargumen bahwa, apa yang sekarang
tampak sebagai modal sosial dan kultural ulama, yang membuat mereka mampu
merekonstruksi, mereformulasi, dan memodifikasi
tradisi, adalah hasil akumulasi dari proses historis yang sangat panjang
dalam sejarah Indonesia. Sampai di sini Burhanudin masih dalam bayang-bayang
karya Jaringan Ulama, tetapi dari pendekatan yang ia gunakan tampak juga
berusaha keluar dari pendekatan sejaran pemikiran konvensional yang digunakan
oleh Azra, yakni sejarah intelektual.
Pada
kesempatan lain, Burhanudin
membedakan pendekatan sejarah intelektual dengan sejarah pemikiran
konvensional. Menurutnya, kajian Azra dalam Jaringan Ulama lebih sebagai
sebuah sejarah pemikiran konvensional, karena cenderung melihat pemikiran
keislaman lebih sebagai usaha pemikiran individual yang berbasis di Timur
Tengah, ketimbang sebagai “wacana” intelektual dan politik keislaman di
Nusantara. Bahkan, penekanannya yang
besar pada jaringan intelektual, Azra cenderung kurang apresiatif
terhadap bentuk-bentuk ekspresi keislaman kaum Muslim di Nusantara, yang
mungkin berbeda dari Islam di wilayah lain.[10]
Apa yang disimpulkan oleh Burhanudin ini ada benarnya, Azra memang terlalu fokus
pada usaha pemikiran individual, yang berbasis di Timur Tengah. Hal ini tampak
dari pembahasannya, ia lebih banyak membahas tokoh-tokoh jaringan ulama sebagai
upaya pemikiran individual, seperti Nur al-Din al-Raniri, ‘Abd al-Rauf
al-Sinkili, al-Palimbani, dan Dawud Patani, yang terpengaruh akibat transmisi
gagasan pembaruan Islam dari jaringan ulama di Makkah dan Madinah. Jadi,
Haramayn tetap menjadi pusat jaringan transmisi Islam.
Sejarah pemikiran konvensional dalam kajian Islam yang
banyak berkembang di Indonesia, cenderung menjadikan teks-teks Islam semata
sebagai rumusan pemikiran individu tertentu, bukan sebagai praktik politik yang
otonom. Oleh karena itu, dalam kajian seperti ini, pemikiran keislaman tidak
dilihat sebagai sebuah wacana, tetapi sebagai upaya renungan yang individualistik,
dan ditempatkan (sering direduksi) dalam konteks historis tertentu.[11]
Lalu apa sejarah intelektual itu?
Satu aspek penting dari sejarah
intelektual—sebagaimana dikembangkan oleh J.G.A. Pocock, Hayden White dan
Dominic Lacapra—adalah pandangannya yang baru pada teks dalam studi sejarah. Berbeda
dengan sejarah sosial dan ekonomi yang cenderung mereduksi teks ke dalam
realitas sejarah, sebagai fakta semata-mata yang harus dijelaskan, sejarah
intelektual justeru menjadikan teks sebagai ‘realitas historis’ yang otonom,
yang menjelaskan realitas bahkan sekaligus membentuk realitas. Oleh karena
sebagai ‘realitas historis,’ maka signifikansi teks tidak terletak pada
sejauhmana ia mampu menggambarkan kenyataan historis yang “sederhana,” tapi
pada fungsinya dalam mengartikulasikan makna-makna atau ide-ide dalam teks-teks
tersebut.[12]
Jika dalam sejarah pemikiran, ide-ide individu kerap dianggap stabil dan
statis, sebaliknya dalam studi sejarah intelektual, ide-ide (termasuk ide-ide
Islam) direformulasi dan direkonstruksi secara terus menerus dalam situasi
sejarah tertentu.[13]
Sejarah intelektual menurut Lacapra adalah “as
history of the text.”[14]Lebih
lanjut, menurut Quentin Skinner, sebagaimana dikutip oleh Lacapra,[15]
tujuan studi sejarah intelektual seharusnya, adalah studi atas apa yang
dimaksud oleh pengarang teks dalam konteks sejarah dan situasi komunikasi yang
berbeda. Oleh karena itu, dalam sejarah intelektual, teks dibiarkan berbicara
mengenai konteksnya. Mengenai relasi teks dengan konteksnya ini, Lacapra
mencatat sejumlah konteks, yakni konteks relasi tujuan pengarang dengan teks,
relasi kehidupan pengarang dengan teks, relasi masyarakat dengan teks, relasi
budaya dengan masyarakat, dan relasi teks dengan teks-teks lainnya
(intertekstual).[16]
Dari sini kemudian, sejarah intelektual banyak meminjam kritik teks sastra dan
filsafat pasca strukturalis. Namun, Pocock berbeda dengan Skinneer, sementara
Skinner lebih banyak mengembalikan teks kepada pengarangnya dengan banyak
mengadopsi teori hermenutika, sebagaimana yang telah diungkap di atas, Pocock
tampaknya lebih tertarik pada bahasa itu sendri, khususnya pada evolusi
pemaknaan serta penggunaan bahasa-bahasa konseptual.[17]
Pemikiran sejarah yang dikembangkan oleh Pocock dan
Skinner ini dapat dikatakan sebagai sebuah kecenderungan baru, kendati
sebelumnya sudah muncul apa yang dinamakan dengan sejarah pemikiran atau
sejarah ide, akan tetapi formulasi metodologisnya muncul sekitar tahun 60-an oleh
Pocock dan Skinner ini. Munculnya sejarah intelektual sejalan dengan memudarkan
dominasi sejarah dengan paradigma Annales, yang dikembangkan oleh
Fernand Braudel.[18]
Sementara sejarah intelektual menjadikan pemikiran—yang tertuang dalam
teks—sebagai inti realitas historis, Braudel menempatkan struktur, yaitu
kondisi geografis dan iklim, sebagai basis utama, disusul kemudian dengan konjuntur,
yaitu hubungan sosial dan ekonomi, dan kemudian peristiwa-peristiwa politik dan
pemikiran individual.[19]
Dapatlah juga sejarah sosial mazhab Annales ini disebut sebagai sejarah
sosial dan sejarah mentalitas, artinya mentalitas yang mendasari dan membentuk
struktur-struktur yang konstan dalam waktu yang lama. Jadi pemikiran-pemikiran
hanyalah bagian permukaan mentalitas, surface, dari sebuah sejarah. Oleh
karena itu, Burhanudin melalui pendekatan sejarah intelektual sedang berupaya
mengapresiasi teks-teks pemikiran keislaman, di samping dokumen-dokumen
ekonomi-politik yang sering banyak digunakan dalam rekonstruksi sejarah.
Orisinalitas Historiografi
Jika kita melihat daftar pustaka Ulama dan
Kekuasaan, tampak Burhanudin banyak menggunakan sumber-sumber teks dalam manuskrip
dan arsip-arsip, baik berupa dokumen maupun majalah dan surat kabar. Dari
daftar pustaka sedikitnya ia menggunakan 7 manuskrip koleksi Perpustakaan
Universitas Leiden, 2 manuskrip koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta, 3
arsip umum Kerajaan Belanda dan Arsip Nasional Jakarta, dan 29 majalah dan
surat kabar yang terbit di Indonesia, Singapura dan Amsterdam, Belanda. Apa artinya ini bagi sebuah studi sejarah?
Fuad Jabali dalam tulisannya “Manuskrip dan
Orisinalitas Penelitian,”[20]
berargumen bahwa kajian yang kreatif terhadap manuskrip Nusantara yang sangat
melimpah, baik yang ada di Tanah Air maupun di luar negeri, bisa menjadi cara
yang paling efektif untuk mengklaim orisinalitas sebuah kajian ilmiah, selain
untuk membangun jati diri bangsa dalam menghadapi arus globalisasi. Cara
berpikir yang kreatif dan kritis dapat memahami realitas di balik manuskrip,
baik yang tersirat maupun yang tersurat, baik yang sudah teraktualisasikan
maupun yang masih berpotensi. Menurut Jabali, yang paling mungkin untuk
mengklaim orisinalitas adalah pada aspek kebaruan penggunaan sumber. Penemuan
dan penggunaan sumber-sumber baru akan mengubah kesimpulan-kesimpulan yang ada.[21]
Bagaimana Burhanudin menggunakan manuskrip dalam
kajiannya? Ini tampak ketika mencoba melihat Islamisasi politik kerajaan,
sekaligus memperlihatkan kontekstualisasi Islam di Nusantara dalam politik
kerajaan. Salah satu manuskrkip yang dibahasnya adalah al-Mawa>hib
al-Rabba>niyyah ‘an al-As’ila al-Ja>wiyyah. Kitab ini ditulis oleh seorang ulama dari Makkah,
Muhammad bin Allan bin Allan (1588 – 1647), atas permintaan penguasa Kerajaan
Banten, Pangeran Ratu atau Sultan Abu al-Mafakhir (Abu al-Mafakhir Abdul Qadir
al-Jawi al-Syafi’I, berkuasa pada 1625 – 1651). Menurut Burhanudin, manuskrip
ini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden dan Perpustakaan Nasional
Jakarta. Burhanudin menggunakan teks manuskrip koleksi Perpustakaan Nasional
Jakarta. Alasannya adalah manuskrip Jakarta terlihat sebagai teks tunggal,
sedangkan manuskrip Leiden berupa kumpulan dari beberapa teks yang berbeda. Isi
teks al-Mawa>hib adalah pokok-pokok terkait dengan politik Islam yang
menjadi fokus perhatian Raja Banten, yaitu gagasan-gagasan politik dalam Nasi>h}at
al-Mulu>k karangan
al-Ghazali (wafat 1111).
Teks al-Mawa>hib setidaknya
memberikan dua bukti. Pertama, ia memberikan bukti bahwa dari sisi transmisi
Islam, Timur Tengah, khususnya Makkah, memegang peran penting dalam
perkembangan Islam di Nusantara. Setiap bagian isinya merupakan jawaban ulama
Makkah bagi permintaan fatwa oleh Raja Banten. Al-Mawa>hib hadir menambah koleksi fatwa Makkah tentang Islam
Nusantara mendahului Muhimmah al-Nafa>’is pada abad
ke-19.[22]
Kedua, teks al-Mawa>hib menghadirkan
wacana intelektual Nusantara masa pra-kolonial, di mana politik berorientasi
raja memperoleh penekanan kuat. Al-Mawa>hib adalah bukti nyata hubungan agama dan politik (“religio-politic”),
setidaknya dari kasus Raja Banten ini. Karena itu, hubungan dengan Makkah
dijalin sebagai satu langkah strategis guna memperoleh legitimasi agama bagi
kekuasaan politiknya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Sultan Agung Mataram,
yang memperoleh legitimasi keagamaan dari Makkah dengan memberi gelar Sultan
Abdullah Muhammad Maulana Matarani pada 1640.[23]
Lebih jauh konsep “religio-politic” juga ditunjukan oleh sebuah teks Ta>j
al-Salatin karangan
Bukhari al-Jauhari di Aceh yang ditulis kira-kira pada 1603. Ini adalah suatu
teks terpenting tentang ide politik Islam di Nusantara, yang populer di kalangan
Muslim Nusantara, sehingga Winstedt menyebut Ta>j
al-Salatin sebagai teks
yang memiliki pengaruh besar terhadap ide-ide Melayu.[24]
Bahkan teks yang sama-sama terpengaruh oleh al-Ghazali dan berisi etika politik
ini muncul di Kerajaan Bima dengan judul Jawharat al-ma‘a>rif, yang juga mempertegas identitas konsep “religio-politic”
Kesultan Islam Melayu di Nusantara.[25]
Jika begitu pandangan Burhanudin, sepertinya ia tidak
konsisten dengan tulisannya yang lain,[26]
ketika menilai kajian Azra cenderung memusatkan Timur Tengah, dalam hal ini
Makkah dan Madinah sebagai pusat transmisi Islam ke Nusantara, dan kurang
apresiatif terhadap artikulasi keislaman Nusantara yang terkadang berbeda
dengan Timur Tengah, sebagaimana yang dikemuakan di atas. Sementara dalam Ulama
dan Kekuasaan mengatakan bahwa “as}h}a>b
al-Ja>wiyyi>n di Makkah menghubungkan Islam di Negeri Bawah Angin
dengan jantung Islam di Timur Tengah.”[27]
Namun, tampaknya ini berlaku hanya pada abad ke-17 dan ke-18 sebagaimana fokus
kajian Azra, dan tentu saja belum tentu berlaku pada abad selanjutnya. Misalnya,
Burhanudin menunjukan kekuatan kesimpulannya dengan bukti teks Hikayat Pocut
Muhamad yang dikarang oleh seorang ulama Lam Rukam, yang menggambarkan
situasi memalukan di Kerajaan Aceh. Teks ini menghadirkan suara kritis dari
seorang pimpinan agama terhadap elite politik tentang kemunduran Aceh di akhir abad
ke-18 ketika Kerajaan Aceh mengalami konflik internal di antara elit kerajaan.
Teks ini, lanjut Burhanudin, mengekspresikan pandangan politik baru yang muncul
dari ulama Aceh yang kebanyakan tinggal di wilayah-wilayah yang jauh dari
istana kerajaan. Alih-alih menandai relasi agama-politik sebagaimana dalam teks
al-Mawa>hib dan Ta>j al-Salatin, Hikayat Pocut Muhamad justeru mengambil jarak dari istana, mereka bahkan
mulai mengkritik para penguasa. Apa sebab? Zaman telah berubah, seiring kondisi
internal Aceh yang tengah konflik, VOC masuk dan mempengaruhi.[28]
Jadi tegasnya, ulama-ulama tidak perlu lagi memusatkan perhatian atau meminta
fatwa dari ulama Makkah, tetapi cukup memperhatikan perkembangan konteks
internal negerinya, untuk memberikan pendapat dan pemikirannya tentang politik
kerajaan. Mungkin kekecualian bagi teks Muhimmah
al-Nafa>’is. Ini perlu ulasan lebih lanjut. Poinnya adalah untuk
mendudukan kesimpulan atau asumsi-asumsinya, Burhanudin selalu berusaha
mengajukan teks atau manuskrip sebagai bukti yang memperkuat kedudukan
kesimpulannya. Jadi, historiografi ulama menjadi semakin orisinal hasilnya oleh
karena didukung dengan bukti-bukti yang juga layak dianggap orisinal.
Pengetahuan, Kuasa
dan Otoritas
Judul asli buku Ulama dan Kekuasaan adalah “Islamic
Knowledge, Authority and Political Power: The ‘Ulama in Colonial Indonesia,”
yang merupakan sebuah karya disertasi penulisnya. Dari judul ini setidaknya ada
tiga kata kunci ketika membahas ulama pada masa kolonial di Indonesia, yakni
pengetahuan Islam, kuasa dan otoritas. Artinya, dari masa ke masa, ulama
Indonesia mencoba mempertahankan otoritasnya sebagai elit agama melalui kuasa
pengetahuannya. Melalui pengetahuannya, ulama senantiasa mengaktualisasikan tradisinya
agar otoritasnya senantiasa terjaga. Tradisi dimaksudkan di sini sebagai sebuah
aktivitas mental atau suatu bentuk pemikiran yang dikedepankan ulama dalam
upaya merekonstruksi, memodifikasi, berargumentasi dan menemukan realitas masa
lalu atas dasar argumen kontemporer.[29]
Adanya relasi kuasa dengan pengetahuan, membawa kita
pada satu teorisasi Michael Foucault mengenai relasi kuasa-pengetahuan.
Foucault berpendapat, sebagaimana dikutip oleh Alexander Aur,[30]
bahwa “kekuasaan dan pengetahuan secara langsung saling menyatakan antara satu
dengan yang lain.” Kekuasaan dan pengetahuan, melalui diskursus, saling
mengandaikan atau saling bertautan erat. Ia juga menekankan kekuasaan dan
proses historis. Kekuasaan adalah suatu situasi strategis yang kompleks dalam
suatu masyarakat. Kekuasaan adalah soal praktek yang terjadi dalam suatu ruang
lingkup tertentu, di mana dalam ruang lingkup tersebut ada banyak posisi yang
strategis berkaitan satu dengan yang lain dan senantiasa mengalami pergeseran.
Strategi berlangsung di mana-mana. Kekuasaan tidak selalu bekerja melalui
penindasan dan represi, melainkan melalui normalisasi dan regulasi.[31]
Oleh karena kekuasaan tidak mengacu pada satu sistem umum dominasi, dan lebih
merupakan “situasi strategis,” maka bagi ulama untuk selalu mengaktualkan
dirinya, ia harus menemukan situasi strategis tradisinya dalam menghadapi
berbagai tantangan zaman. Maka, ulama selalu berkuasa—dengan pengetahuannya—mendefinisikan
diri dan tradisinya di tengah perubahan sosial dan budaya.
Di sinilah kemudian sampai pada apa yang disebut
dengan arkeologi pengetahuan (The Archeology of Knowledge), sebagaimana
yang diajukan juga oleh Foucault. Tidak seperti sejarah pemikiran konvensional yang
menggunakan konsep “evolusi,” “kontinuitas,” dan “totalisasi,” sejarah
pemikiran dalam konsep arkeologi pengetahuan menyangkut empat prinsip: pertama,
ia tidak mencari penemuan-penemuan, melainkan berusaha memperlihatkan keajekan
suatu praktek diskursif (the regularity of discursive practice); kedua,
memperhatikan kesatuan mendalam suatu diskursus dan kontradiksi-kontradiksi
fundamennya; ketiga, analisis arkeologis menyangkut perbandingan, yakni
perbandingan antara praktik diskursif yang satu dengan yang lainnya. Arkeologi
pengetahuan bermaksud memperlihatkan relasi-relasi antara sejumlah bentuk
diskursif tertentu; keempat, analisis arkeologis melukiskan juga
perubahan sebagai bentuk transformasi.[32]
Melalui empat prinsip ini, saya memandang bahwa Ulama dan Kekuasaan
sebagai sebuah arkeologi pengetahuan.
Sebagaimana disebutkan bahwa Ulama dan Kekuasaan,
dalam tingkat tertentu, melanjutkan karya-karya historiografi sebelumnya
tentang ulama, seperti terutama studi Azra. Karena ia tidak berusaha menemukan
suatu praktek diskursif, tetapi berusaha melihat keajekan diskursif. Apa
diskursif itu? Ia adalah suatu reformulasi tradisi ulama yang ajek. Dengan
sendirinya meski terdapat perbedaan-perbedaan respon ulama dalam menghadapi
perubahan sosial budaya, itu hanya ditingkat permukaan saja (praktik diskursif
permukaan), sedangkan yang terdalam dari semua itu adalah reformulasi tradisi.
Karenanya, dalam praktik-praktik diskursif ulama dalam reformulasi tradisi di
tingkat permukaan yang berbeda-beda senantiasa diperbandingkan. Selain itu Ulama
dan Kekuasaan juga melukiskan transformasi tradisi yang dilakukan ulama.
Reformulasi tradisi tentu saja merupakan upaya transformasi tradisi dalam
menghadapi perubahan-perubahan sosial-budaya. Keajekan itu akhirnya menyarankan
pada sebuah paradigma kultural yang dipakai ulama untuk memahami realitas, sebuah
kelompok nilai dan norma yang menjadi pijakan ulama mendefinisikan tradisi
Islam bagi kaum Musim Indonesia.[33]
Tampak, Burhanudin memang menulis sejarah microscopic—sebagaimana yang
dianjurkan oleh Foucault, sejarah dengan topik spesifik, satu topik khusus
dengan dinamika internalnya.[34]
Burhanudin menulis satu topik khusus, yakni tentang ulama dan dinamika
internalnya dalam merespon perubahan, melalui reformulasi tradisi. Reformulasi
tradisi tersebut adalah bagian dari upaya penempatan situasi strategis otoritas
ulama di tengah perubahan.
Catatan Penutup
Buku ini memandang ulama secara positif sekaligus
kritis. Burhanudin melihat ulama sebagai salah satu faktor pendukung utama
dalam pembentukan Indonesia di masa depan. Mayoritas penduduk Indonesia adalah
Muslim, sehingga keagamaan mereka menjadi faktor penentu pembentukan gambaran
sosial-politik Indonesia di masa depan, dan ulama memegang peranan strategis
dalam pembentukan religiusitas umat Muslim. Ulama juga ikut andil dalam
memperkuat proses demokrasi dalam perpolitikan Indonesia. Hal ini ditunjukkan
oleh banyaknya kalangan ulama muda, baik yang berafiliasi dalam organisasi NU
dan Muhammadiyah, yang ikut serta dalam upaya menjadikan demokrasi bekerja
dalam perpolitikan Indonesia. Di luar organisasi NU dan Muhammadiyah, para
ulama yang terhimpun dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang disponsori
pemerintah, dirancang untuk memfasilitasi komunikasi dua arah antara
kepentingan pemerintah dengan masyarakat Muslim. Ini bisa dilihat dari
fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI.[35]
Meskipun demikian, Burhanudin mengkritik bahwa MUI dalam perkembangannya sangat
kuat berada di bawah pengaruh Pemerintah Orde Baru, dan lebih sebagai “agen”
yang menerjemahkan kebijakan pemerintah ke dalam bahasa yang dipahami umat
Islam. Tentu saja ini berubah saat reformasi bergulir, yang alih-alih menjadi
“agen” pemerintah, MUI menjadi pelayan umat, tetapi tetap saja, menurut
Burhanudin, kebanyakan fatwa-fatwa MUI terkini gagal diterima semua kalangan
Muslim Indonesia, dan tampak lebih mendukung aspirasi Islam dan tokoh-tokoh
Islam beraliran konservatif. Maka, ulama dengan basis organisasi NU dan
Muhammadiyah malah lebih diterima oleh masyarakat.
Terakhir, hal yang menjadi catatan berikutnya adalah,
Burhanudin tidak memberikan pengertian atau kriteria ulama yang menjadi fokus
kajiannya, atau setidaknya memeberikan alasan pemilihan istilah atau konsep
ulama yang dikaji, sebagaimana dilakukan oleh Yudi Latif ketika mengkaji intelegensia Muslim Indonesia, yang memberikan
argumen pemilihan istilah intelegensia dari pada intelektual.[36]
Di sisi lain, kajian Burhanudin tetap menyisakan serangkaian riset-riset
lanjutan mengenai tokoh-tokoh agama Islam di tingkat lokal, yang boleh jadi
lebih dikenal oleh masyarakat setempat tetapi belum banyak dikaji.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. 2011. “Lombard, Mazhab Annales, dan Sejarah
Mentalitas Nusa Jawa,” dalam Panggung Sejarah: Persembahan kepada
Prof. Dr. Denys Lombard, eds. Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary. Jakarta: EFEO.
Aur, Alexander. 2005. “Pascastrukturalisme Michel Foucault dan Gerbang
Menuju Dialog Antarperadaban,” dalam Teori-Teori Kebudayaan, eds. Mudji
Sutrisno dan Hendar Putranto. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Azra, Azyumardi. 2002. “Asal-Usul Modernisme Islam: Tiga
Jurnal,” dalam Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, Azyumardi
Azra. Bandung: Mizan, 2002.
-------. 2003. Surau: Pendidikan Islam Tradisonal dalam
Transisi dan Modernisasi. Jakarta: PT.
Logos Wacana Ilmu, 2003.
-------. 2006. “Historiografi Islam Indonesia: Antara Sejarah
Sosial, Sejarah Total, dan Sejarah Pinggir,” dalam Menjadi Indonesia: 13
Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, eds. Komaruddin Hidayat dan Ahmad
Gaus AF. Jakarta: Mizan, 2006.
-------. 2011. “Historiografi Kontemporer Indonesia,” dalam Panggung
Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard, eds. Henri
Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary. Jakarta: EFEO.
-------. 2013. Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, edisi Perenial. Jakarta: Prenada Media Group.
Burhanudin, Jajat. 1994. “Penemuan Bangsa Melayu,” dalam Jurnal Studia
Islamika, Vol. 3, No. 4.
-------. 2012. Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam
Sejarah Indonesia. Jakarta: Mizan Publika.
Fathurahman, Oman. 2010. “Jawharat al-ma‘a>rif: Mempertegas Identitas Kesultanan Islam Melayu,” dalam Iman dan Diplomasi: Serpihan Sejarah
Kerajaan Bima, Henri Chambert-Loir dkk. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, EFEO, dan Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata.
Geertz, Clifford. 1960a. “The Javanese Kijaji: the Changing Role
of a Cultural Broker,” dalam Comparative Studies in Society and History, Vol. 2, No. 2.
-------. 1960b. The Religion of Java. Chicago and London: The University of Chicago Press.
Hobsbawm, E.,
and
T. Ranger. 1983. The Invention of Tradition. Cambridge: Cambridge University Press.
Jabali, Fuad. 2010. “Manuskrip dan Orisinalitas Penelitian,” dalam Jurnal
Lektur Keagamaan, Vol. 8,. No.1.
Kaptein, N.J.G. 1997. The Muhimmat al-Nafa>’is: A Bilingual Meccan Fatwa Collection for Indonesian
Muslims from the End of the Nineteenth Century. Jakarta:INIS.
Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan
Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lacapra, Dominick.
1983. Rethinking Intellectual History: Texts, Contexts and Languange. Ithaca
New York: Cornell University.
Latif, Yudi. 2005. Intelegensia
Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20.
Bandung: Mizan.
Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya:Batas-Batas Pembaratan.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mudzhar, Mohammad Atho. 1993. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum
Islam di Indonesia, 1975 – 1988. Jakarta:
INIS.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah
Indonesia Modern: 1200 – 2004. Jakarta:
Serambi.
Steenbrink, Karel
A. 1994. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan
Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES.
Winstedt, R.O. 1970. A History of classical Malay Literature (New
York etc: Oxford University Press).
[1]Geertz berpandangan bahwa peran
kiai berubah dari semata-mata sebagai perantara dalam mengkomunikasikan dan
menyesuaikan doktrin-doktrin Islam ke dalam praktik dan keyakinan lokal
masyarakat Jawa, kepada fungsi yang membuat mereka terlibat sebagai perantara
isu politik nasionalisme bagi penduduk desa. Lihat Clifford Geertz, The
Religion of Java (Chicago and London: The University of Chicago Press,
1960), dan Clifford Geertz, “The Javanese Kijaji: the Changing Role of a
Cultural Broker,” dalam Comparative Studies in Society and History ,
Vol.
2 No.
2 (1960), h.
228-249
[2]Satu karya penting tentang
sejarah surau yakni Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisonal dalam
Transisi dan Modernisasi (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2003).
[3]Penting diperhatikan, yang
dimaksud dengan komunitas Jawi dan jaringan ulama Nusantara dengan Timur Tengah,
adalah berbeda dengan komunitas Jawi dan jaringan ulama sebagaimana yang dikaji
oleh Azra dalam Jaringan Ulama. Hal ini karena jika kajian Azra lebih
terfokus pada abad ke-17 dan ke-18, sedangkan yang dimaksud dengan Burhanudin
adalah yang terjadi pada abad ke-19. Burhanudin pun membahas ulama-ulama yang
terlibat dalam jaringan dengan ulama Timur Tengah pada abad ke-17 dan ke-18,
sebagaimana yang dimaksud dengan Azra, pada bab 2.
[4]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, edisi Perenial
(Jakarta: Prenada Media Group, 2013).
[5]Salah satu perubahan tampak
ditunjukkan dalam kajian Azyumardi Azra tentang kemunculan jurnal Al-Imam di
Singapura dan jurnal Al-Munir di Padang sebagai akibat pengaruh jurnal Al-Manar
yang diterbitkan oleh Rasyid Ridha murid Muhammad Abduh di Mesir. Lihat
Azyumardi Azra, “Asal-Usul Modernisme Islam: Tiga Jurnal,” dalam Islam
Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, Azyumardi Azra (Bandung: Mizan,
2002).
[6]Salah satu buku penting tentang
perubahan-perubahan sistem pendidikan pesantren adalah Karel A. Steenbrink, Pesantren,
Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES,
1994).
[9]Azyumardi Azra, “Historiografi
Islam Indonesia: Antara Sejarah Sosial, Sejarah Total, dan Sejarah Pinggir,”
dalam Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara,
eds. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (Jakarta: Mizan, 2006), dan Azyumardi
Azra, “Historiografi Kontemporer Indonesia,” dalam Panggung Sejarah:
Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard, eds. Henri Chambert-Loir dan
Hasan Muarif Ambary (Jakarta: EFEO, 2011).
[10]Jajat
Burhanudin, “Penemuan Bangsa Melayu,” dalam jurnal Studia Islamika, Vol.
3, No. 4 (1994), h. 219.
Tulisan ini adalah sebuah telaah atas buku A.C.Milner
yang berjudul The Invention of Politics in Colonial Malaya. Menurut
Burhanudin, Milner telah menggunakan pendekatan sejarah intelektual dalam
menulis sejarah bangsa Melayu di masa kolonial.
[13]Jajat
Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah
Indonesia (Jakarta: Mizan Publika, 2012), h. 9 – 10.
[14]Dominick Lacapra, Rethinking Intellectual History:
Texts, Contexts and Languange (Ithaca New York: Cornell University, 1983), h.
35.
[18]Mengenai
ulasan tentang sejarah dengan paradigma Annales, dapat dibaca dalam
Taufik Abdullah, “Lombard, Mazhab Annales, dan Sejarah Mentalitas Nusa
Jawa,” dalam Panggung
Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard, eds. Henri Chambert-Loir dan
Hasan Muarif Ambary (Jakarta: EFEO, 2011).
[19]Satu
contoh karya sejarah dengan paradigma Annales ini adalah karya Denys
Lombard tentang sejarah Jawa. Ia pertama-tama membahas terlebih dahulu pertimbangan-pertimbangan
geo-historis sebagai struktur dasar sebelum kemudian membahasa relasi-relasi
sosial dan ekonomi, baik relasi Jawa dengan bangsa-bangsa dan budaya Barat,
bangsa-bangsa dan budaya Islam, maupun dengan bangsa-bangsa dan budaya India.
Inilah yang disebut dengan lapisan geologis sejarah Jawa. Lihat Denys Lombard, Nusa
Jawa: Silang Budaya:Batas-Batas Pembaratan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2005).
[20]Fuad
Jabali, “Manuskrip dan Orisinalitas Penelitian,” dalam Jurnal Lektur
Keagamaan, Vol. 8,. No.1 (2010). Klaim orisinalitas penelitian setidak
dapat didasarkan pada tiga hal, pertanyaan atau permasalahannya yang baru,
metodologinya yang baru, dan sumber penelitiannya yang baru.
[22]N.J.G
Kaptein, The Muhimmat
al-Nafa>’is: A Bilingual Meccan Fatwa Collection for Indonesian
Muslims from the End of the Nineteenth Century
(Jakarta:INIS, 1997).
[24]R.O
Winstedt, A History of classical Malay Literature (New York etc: Oxford
University Press), h. 97.
[25]Oman
Fathurahman, “Jawharat
al-ma‘a>rif: Mempertegas Identitas Kesultanan Islam Melayu,”
dalam Iman dan Diplomasi: Serpihan Sejarah Kerajaan Bima, Henri
Chambert-Loir dkk (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, EFEO, dan Direktorat
Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2010).
[29]Jajat
Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, h. 8. Pemahaman tradisi seperti ini
adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Hobswan. Lihat E. Hobsbawm, and T. Ranger, The
Invention of Tradition (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), h.
2 – 4.
[30]Alexander
Aur, “Pascastrukturalisme Michel Foucault dan Gerbang Menuju Dialog
Antarperadaban,” dalam Teori-Teori Kebudayaan, eds. Mudji Sutrisno dan
Hendar Putranto (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005), h. 151.
[31]Alexander
Aur, “Pascastrukturalisme Michel Foucault dan Gerbang Menuju Dialog
Antarperadaban,” h. 150 dan 154.
[32]Alexander
Aur, “Pascastrukturalisme Michel Foucault dan Gerbang Menuju Dialog
Antarperadaban,” h. 159.
[35]Mohammad
Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975 – 1988 (Jakarta: INIS, 1993).
Fatwa-fatwa yang terkait dengan masalah-masalah sosial-budaya yang juga menjadi
problem dan kebijakan pemerintah adalah: fatwa tentang keluarga berencana,
fatwa tentang golongan kecil Islam, dan fatwa tentang masalah kedokteran.
[36] Yudi
Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim
Indonesia Abad ke-20 (Bandung: Mizan, 2005).
(Tulisan ini terbit dalam Jurnal Lektur Keagamaan tahun 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar