Kamis, 06 Februari 2014

Sejarah Intelektual Ulama Nusantara: Reformulasi Tradisi di Tengah Perubahan


Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia. Jakarta: Mizan, 2012. 481 halaman.

Buku karya Jajat Burhanudin ini layak mendapatkan apresiasi, tidak saja karena meraih Islamic Book Fair Award pada tahun 2013 untuk kategori buku Islam non-fiksi terbaik, tetapi ulasannya yang ensiklopedis mengenai tema ulama di Nusantara-Indonesia, sebagaimana yang dikemukakan oleh sejarawan Taufik Abdullah.
Bagi umat Muslim, termasuk di Indonesia, ulama memainkan peran yang penting. Tidak saja dalam hal keagamaan, tetapi juga mencakup bidang-bidang lainnya, seperti sosial, politik dan budaya. Bahkan Clifford Geertz sendiri menyebut ulama/kiai sebagai pialang budaya (cultural broker).[1] Sayangnya, pentingnya ulama ini belum diimbangi dengan studi-studi yang mencoba mendedah peran keulamaan secara historis di bumi Indonesia ini. Di sinilah arti penting kehadiran buku ini. Ditulis dengan pendekatan sejarah intelektual dengan rentang waktu historis lima abad (17 hingga 20). Sungguh merupakan sebuah kerja besar jika ulama dilihat dalam spektrum sejarah yang luas itu, namun di tangan penulisnya, yang merupakan hasil dari studi untuk disertasinya, menjadi sebuah karya yang bersifat ensiklopedik. Di dalamnya dikupas baik selintas maupun rinci berbagai aspek dan dinamika keulamaan di Indonesia.
Buku ini mencoba menelusuri upaya para ulama membangun peran dan legitimasi sosio-intelektual dan budaya mereka di Indonesia. Hal penting yang perlu ditekankan adalah peran dan posisi strategis tersebut tidak datang tiba-tiba, tetapi hasil perjuangan panjang melewati berbagai proses perubahan sosial-politik dalam konteks sejarah Indonesia.

Ringkasan Buku
Buku ini terbagi atas sepuluh bab, termasuk di dalamnya pendahuluan. Pembahasan ulama dimulai pada bab dua, yang memfokuskan pada periode kerajaan-kerajaan Islam Nusantara pra-kolonial, ketika ulama memainkan peran penting sebagai hakim (kadi/qadi) dan syaikhul Islam, untuk memperkuat pelaksanaan Islam di dalam kerajaan. Ulama menjadi elit agama dan menjadi bagian dari elit yang berkuasa di kerajaan. Ketika kerajaan-kerajaan Islam jatuh, yang sebagian disebabkan karena hadirnya perusahaan-perusahaan Barat dalam jaringan perdagangan Nusantara, khususnya yang berasal dari Belanda, yakni Vreenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), ulama lalu mengalami transformasi dari pejabat di istana kerajaan menjadi pemimpin lembaga pendidikan Islam yang mereka bangun di luar wilayah kerajaan. Ulama mendirikan pesantren, surau, atau dayah (bab 3).
Dengan tumbuhnya pesantren, surau,[2] dan dayah, ulama tetap memiliki fondasi institusionalnya yang kemudian memberikan otoritas keagamaan. Hal ini selanjutnya didukung dengan intensifnya komunitas Jawi, yang menghubungkan ulama Nusantara dengan Timur Tengah.[3] Komunitas Jawi berkontribusi besar dalam membuat Makkah pada akhir abad ke-19 menjadi pusat kehidupan keagamaan  di Hindia Timur (Indonesia). Sebagaimana yang telah juga ditunjukkan oleh Azra,[4] Makkah muncul sebagai tujuan intelektual di mana ulama belajar Islam dan kemudian mentransmisikannya ke Nusantara, melalui pesantren, surau, dan dayah yang menjadi basis gerakannya (bab 4).
Ulama menjadi komunitas yang berbeda, ketika kebijakan kolonial diarahkan untuk menciptakan elit agama baru yang tunduk dan dibesarkan dalam lingkungan kolonial, yakni penghulu. Karena terkait dengan keterlibatan sebagian mereka dalam gerakan protes melawan kolonialisme, Ulama, di lain pihak hidup di wilayah pedesaan dan di luar pengetahuan kolonial (bab 5). Akhirnya ulama melalui pesantrennya muncul sebagai sebuah “komunitas santri,” yang pemaknaannya tidak lagi terbatas pada pelajar pesantren, tetapi sebagai sebuah komunitas yang mengidentifikasi diri ke dalam sikap sosial dan bahasa agama yang berbeda dari penghulu (elit agama yang diangkat Belanda) dan priyayi atau aristokrat pribumi (bab 6).
Ketika tampil sebagai komunitas, ulama menjadi tokoh sentralnya, mereka mampu merespon berbagai perubahan di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Dengan datangnya modernisasi, terkait dengan munculnya reformisme Islam karena perubahan jaringan intelektual dari Makkah ke Kairo Mesir,[5] ulama menghadapi gelombang kuat perubahan agama dan sosial yang menyerang otoritas mereka sebagai ahli Islam di tengah-tengah Muslim Indonesia (bab 7 dan 8). Di tengah-tengah perubahan tersebut, ulama tetap mampu melanjutkan keberadaannya di Hindia Belanda melalui perumusan apa yang disebut dengan “tradisi Islam,” dan modernisasi pusat-pusat pengajaran Islam, yakni pesantren[6] yang menjadi salah satu pilar dasar keberadaan mereka (bab 9). Hal ini juga berlanjut di masa Indonesia kontemporer. Dengan modal kultural dan sosial, ulama mampu mempertahankan posisi penting mereka dalam masyarakat dan politik Indonesia modern (bab 10).

Sejarah Intelektual
Mendiskusikan ulama Indonesia-Nusantara, orang tidak akan melewatkan karya Azyumardi Azra mengenai jaringan ulama di Kepulauan Nusantara dengan Timur Tengah yang telah banyak menjadikan rujukan, termasuk Ulama dan Kekuasaan ini. Burhanudin sendiri menyebut karyanya ini, dalam beberapa hal adalah mengembangkan studi Azra tentang jaringan antara ulama Nusantara abad ke-17 dan ke-18. Pertanyaan yang muncul adalah: apa yang dikembangkan dari studi Azra tersebut? Kita kehilangan informasi dari Burhanudin sendiri tentang jawaban ini.
Sebagaimana sudah banyak disinggung, bahwa studi Azra terfokus pada abad ke-17 dan ke-18. Ia tidak masuk dalam pembahasan abad ke-19 dan apalagi abad ke-20. Pembahasan abad ke-17 dan ke-18 mendapatkan tempat tidak lebih dari 2 bab dalam Ulama dan Kekuasaan. Memang, dalam edisi terbarunya, Azra juga menyinggung  tentang  perkembangan abad ke-19 dan ke-20 dari jaringan ulama, tetapi itu sifatnya hanya sekilas saja. Jadi dapat juga dikatakan, yang dimaksudkan dengan “melanjutkan” atas studi Azra oleh Burhanudin adalah melanjutkan dalam hal pembahasan pada tingkat perkembangan waktunya.  Namun, dapat juga bermaksud lain, yakni mengisi kekosongan pembahasan dalam hal pertanyaan studi yang tidak diajukan oleh Azra, juga dalam hal pendekatan teoritik yang digunakan oleh Burhanudin.
Studi Azra mengisi celah kurangnya studi tentang transmisi dan penyebaran gagasan pembaruan Islam, khususnya pada masa menjelang ekspansi kekuasaan Eropa dalam abad ke-17 dan ke-18, terlebih jika dikaitkan dengan perjalanan Islam di Nusantara. Lebih lanjut Azra mendebat gagasan Geertz dalam The Religion of Java yang berpandangan bahwa tradisi Islam di Nusantara tidak mempunyai ikatan dengan Islam Timur Tengah. Azra lalu berargumen bahwa hubungan antara kaum Muslim di kawasan Melayu-Indonesia dan Timur Tengah telah terjalin sejak masa-masa awal Islam, dan sejak abad ke-17 hubungan di antara kedua wilayah Muslim ini umumnya bersifat keagamaan dan keilmuan, meskipun ada juga hubungan-hubungan yang bersifat politik antara kerajaan Islam Nusantara dengan Dinasti Utsmani.[7] Ia mengajukan pertanyaan lebih pada bagaimana jaringan keilmuan terbentuk di antara ulama Timur Tengah dengan murid-murid Melayu-Indonesia? Apa saja wacana intelektual yang berkembang dalam jaringan tersebut? Apa peran ulama Melayu-Indonesia dalam jaringan dan apa dampak lebih jauh dari jaringan tersebut? Karenanya, Azra menempatkan kajiannya sebagai kajian sejarah sosial intelektual Islam,[8] dan dalam tingkat tertentu menjadi ‘sejarah global,’ yakni pandangan bahwa, perkembangan historis di suatu wilayah tertentu tidaklah terjadi dan berlangsung dalam situasi vakum dan isolatif.[9]  
Burhanudin dalam Ulama dan Kekuasaan sebenarnya mempunyai asumsi yang sama, yakni jaringan ulama dengan Timur Tengah memegang peranan penting. Ia berfungsi sebagai sumber tradisi intelektual ulama, dan menjadi landasan mereka terlibat dalam penerjemahan Islam di arena kolonial Indonesia, karenanya membentuk otoritas keagamaan di tengah-tengah Muslim. Tetapi rekonstruksi, reformulasi, dan modifikasi tradisi itu melalui proses-proses historis yang memerlukan penjelasan. Oleh karena itu Burhanudin berargumen bahwa, apa yang sekarang tampak sebagai modal sosial dan kultural ulama, yang membuat mereka mampu merekonstruksi, mereformulasi, dan memodifikasi  tradisi, adalah hasil akumulasi dari proses historis yang sangat panjang dalam sejarah Indonesia. Sampai di sini Burhanudin masih dalam bayang-bayang karya Jaringan Ulama, tetapi dari pendekatan yang ia gunakan tampak juga berusaha keluar dari pendekatan sejaran pemikiran konvensional yang digunakan oleh Azra, yakni sejarah intelektual.
Pada kesempatan lain, Burhanudin membedakan pendekatan sejarah intelektual dengan sejarah pemikiran konvensional. Menurutnya, kajian Azra dalam Jaringan Ulama lebih sebagai sebuah sejarah pemikiran konvensional, karena cenderung melihat pemikiran keislaman lebih sebagai usaha pemikiran individual yang berbasis di Timur Tengah, ketimbang sebagai “wacana” intelektual dan politik keislaman di Nusantara. Bahkan, penekanannya yang  besar pada jaringan intelektual, Azra cenderung kurang apresiatif terhadap bentuk-bentuk ekspresi keislaman kaum Muslim di Nusantara, yang mungkin berbeda dari Islam di wilayah lain.[10] Apa yang disimpulkan oleh Burhanudin ini ada benarnya, Azra memang terlalu fokus pada usaha pemikiran individual, yang berbasis di Timur Tengah. Hal ini tampak dari pembahasannya, ia lebih banyak membahas tokoh-tokoh jaringan ulama sebagai upaya pemikiran individual, seperti Nur al-Din al-Raniri, ‘Abd al-Rauf al-Sinkili, al-Palimbani, dan Dawud Patani, yang terpengaruh akibat transmisi gagasan pembaruan Islam dari jaringan ulama di Makkah dan Madinah. Jadi, Haramayn tetap menjadi pusat jaringan transmisi Islam.
Sejarah pemikiran konvensional dalam kajian Islam yang banyak berkembang di Indonesia, cenderung menjadikan teks-teks Islam semata sebagai rumusan pemikiran individu tertentu, bukan sebagai praktik politik yang otonom. Oleh karena itu, dalam kajian seperti ini, pemikiran keislaman tidak dilihat sebagai sebuah wacana, tetapi sebagai upaya renungan yang individualistik, dan ditempatkan (sering direduksi) dalam konteks historis tertentu.[11] Lalu apa sejarah intelektual itu?
Satu aspek penting dari sejarah intelektual—sebagaimana dikembangkan oleh J.G.A. Pocock, Hayden White dan Dominic Lacapra—adalah pandangannya yang baru pada teks dalam studi sejarah. Berbeda dengan sejarah sosial dan ekonomi yang cenderung mereduksi teks ke dalam realitas sejarah, sebagai fakta semata-mata yang harus dijelaskan, sejarah intelektual justeru menjadikan teks sebagai ‘realitas historis’ yang otonom, yang menjelaskan realitas bahkan sekaligus membentuk realitas. Oleh karena sebagai ‘realitas historis,’ maka signifikansi teks tidak terletak pada sejauhmana ia mampu menggambarkan kenyataan historis yang “sederhana,” tapi pada fungsinya dalam mengartikulasikan makna-makna atau ide-ide dalam teks-teks tersebut.[12] Jika dalam sejarah pemikiran, ide-ide individu kerap dianggap stabil dan statis, sebaliknya dalam studi sejarah intelektual, ide-ide (termasuk ide-ide Islam) direformulasi dan direkonstruksi secara terus menerus dalam situasi sejarah tertentu.[13]
Sejarah intelektual menurut Lacapra adalah “as history of the text.”[14]Lebih lanjut, menurut Quentin Skinner, sebagaimana dikutip oleh Lacapra,[15] tujuan studi sejarah intelektual seharusnya, adalah studi atas apa yang dimaksud oleh pengarang teks dalam konteks sejarah dan situasi komunikasi yang berbeda. Oleh karena itu, dalam sejarah intelektual, teks dibiarkan berbicara mengenai konteksnya. Mengenai relasi teks dengan konteksnya ini, Lacapra mencatat sejumlah konteks, yakni konteks relasi tujuan pengarang dengan teks, relasi kehidupan pengarang dengan teks, relasi masyarakat dengan teks, relasi budaya dengan masyarakat, dan relasi teks dengan teks-teks lainnya (intertekstual).[16] Dari sini kemudian, sejarah intelektual banyak meminjam kritik teks sastra dan filsafat pasca strukturalis. Namun, Pocock berbeda dengan Skinneer, sementara Skinner lebih banyak mengembalikan teks kepada pengarangnya dengan banyak mengadopsi teori hermenutika, sebagaimana yang telah diungkap di atas, Pocock tampaknya lebih tertarik pada bahasa itu sendri, khususnya pada evolusi pemaknaan serta penggunaan bahasa-bahasa konseptual.[17]
Pemikiran sejarah yang dikembangkan oleh Pocock dan Skinner ini dapat dikatakan sebagai sebuah kecenderungan baru, kendati sebelumnya sudah muncul apa yang dinamakan dengan sejarah pemikiran atau sejarah ide, akan tetapi formulasi metodologisnya muncul sekitar tahun 60-an oleh Pocock dan Skinner ini. Munculnya sejarah intelektual sejalan dengan memudarkan dominasi sejarah dengan paradigma Annales, yang dikembangkan oleh Fernand Braudel.[18] Sementara sejarah intelektual menjadikan pemikiran—yang tertuang dalam teks—sebagai inti realitas historis, Braudel menempatkan struktur, yaitu kondisi geografis dan iklim, sebagai basis utama, disusul kemudian dengan konjuntur, yaitu hubungan sosial dan ekonomi, dan kemudian peristiwa-peristiwa politik dan pemikiran individual.[19] Dapatlah juga sejarah sosial mazhab Annales ini disebut sebagai sejarah sosial dan sejarah mentalitas, artinya mentalitas yang mendasari dan membentuk struktur-struktur yang konstan dalam waktu yang lama. Jadi pemikiran-pemikiran hanyalah bagian permukaan mentalitas, surface, dari sebuah sejarah. Oleh karena itu, Burhanudin melalui pendekatan sejarah intelektual sedang berupaya mengapresiasi teks-teks pemikiran keislaman, di samping dokumen-dokumen ekonomi-politik yang sering banyak digunakan dalam rekonstruksi sejarah.  

Orisinalitas Historiografi
Jika kita melihat daftar pustaka Ulama dan Kekuasaan, tampak Burhanudin banyak menggunakan sumber-sumber teks dalam manuskrip dan arsip-arsip, baik berupa dokumen maupun majalah dan surat kabar. Dari daftar pustaka sedikitnya ia menggunakan 7 manuskrip koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, 2 manuskrip koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta, 3 arsip umum Kerajaan Belanda dan Arsip Nasional Jakarta, dan 29 majalah dan surat kabar yang terbit di Indonesia, Singapura dan Amsterdam, Belanda. Apa artinya ini bagi sebuah studi sejarah?
Fuad Jabali dalam tulisannya “Manuskrip dan Orisinalitas Penelitian,”[20] berargumen bahwa kajian yang kreatif terhadap manuskrip Nusantara yang sangat melimpah, baik yang ada di Tanah Air maupun di luar negeri, bisa menjadi cara yang paling efektif untuk mengklaim orisinalitas sebuah kajian ilmiah, selain untuk membangun jati diri bangsa dalam menghadapi arus globalisasi. Cara berpikir yang kreatif dan kritis dapat memahami realitas di balik manuskrip, baik yang tersirat maupun yang tersurat, baik yang sudah teraktualisasikan maupun yang masih berpotensi. Menurut Jabali, yang paling mungkin untuk mengklaim orisinalitas adalah pada aspek kebaruan penggunaan sumber. Penemuan dan penggunaan sumber-sumber baru akan mengubah kesimpulan-kesimpulan yang ada.[21]
Bagaimana Burhanudin menggunakan manuskrip dalam kajiannya? Ini tampak ketika mencoba melihat Islamisasi politik kerajaan, sekaligus memperlihatkan kontekstualisasi Islam di Nusantara dalam politik kerajaan. Salah satu manuskrkip yang dibahasnya adalah al-Mawa>hib al-Rabba>niyyah ‘an al-As’ila al-Ja>wiyyah. Kitab ini ditulis oleh seorang ulama dari Makkah, Muhammad bin Allan bin Allan (1588 – 1647), atas permintaan penguasa Kerajaan Banten, Pangeran Ratu atau Sultan Abu al-Mafakhir (Abu al-Mafakhir Abdul Qadir al-Jawi al-Syafi’I, berkuasa pada 1625 – 1651). Menurut Burhanudin, manuskrip ini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden dan Perpustakaan Nasional Jakarta. Burhanudin menggunakan teks manuskrip koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta. Alasannya adalah manuskrip Jakarta terlihat sebagai teks tunggal, sedangkan manuskrip Leiden berupa kumpulan dari beberapa teks yang berbeda. Isi teks al-Mawa>hib adalah pokok-pokok terkait dengan politik Islam yang menjadi fokus perhatian Raja Banten, yaitu gagasan-gagasan politik dalam Nasi>h}at al-Mulu>k karangan al-Ghazali (wafat 1111).
Teks al-Mawa>hib setidaknya memberikan dua bukti. Pertama, ia memberikan bukti bahwa dari sisi transmisi Islam, Timur Tengah, khususnya Makkah, memegang peran penting dalam perkembangan Islam di Nusantara. Setiap bagian isinya merupakan jawaban ulama Makkah bagi permintaan fatwa oleh Raja Banten. Al-Mawa>hib hadir menambah koleksi fatwa Makkah tentang Islam Nusantara mendahului Muhimmah al-Nafa>’is pada abad ke-19.[22]
Kedua, teks al-Mawa>hib  menghadirkan wacana intelektual Nusantara masa pra-kolonial, di mana politik berorientasi raja memperoleh penekanan kuat. Al-Mawa>hib adalah bukti nyata hubungan agama dan politik (“religio-politic”), setidaknya dari kasus Raja Banten ini. Karena itu, hubungan dengan Makkah dijalin sebagai satu langkah strategis guna memperoleh legitimasi agama bagi kekuasaan politiknya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Sultan Agung Mataram, yang memperoleh legitimasi keagamaan dari Makkah dengan memberi gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani pada 1640.[23] Lebih jauh konsep “religio-politic” juga ditunjukan oleh sebuah teks Ta>j al-Salatin karangan Bukhari al-Jauhari di Aceh yang ditulis kira-kira pada 1603. Ini adalah suatu teks terpenting tentang ide politik Islam di Nusantara, yang populer di kalangan Muslim Nusantara, sehingga Winstedt menyebut Ta>j al-Salatin sebagai teks yang memiliki pengaruh besar terhadap ide-ide Melayu.[24] Bahkan teks yang sama-sama terpengaruh oleh al-Ghazali dan berisi etika politik ini muncul di Kerajaan Bima dengan judul Jawharat al-ma‘a>rif, yang juga mempertegas identitas konsep “religio-politic” Kesultan Islam Melayu di Nusantara.[25]
Jika begitu pandangan Burhanudin, sepertinya ia tidak konsisten dengan tulisannya yang lain,[26] ketika menilai kajian Azra cenderung memusatkan Timur Tengah, dalam hal ini Makkah dan Madinah sebagai pusat transmisi Islam ke Nusantara, dan kurang apresiatif terhadap artikulasi keislaman Nusantara yang terkadang berbeda dengan Timur Tengah, sebagaimana yang dikemuakan di atas. Sementara dalam Ulama dan Kekuasaan mengatakan bahwa “as}h}a>b al-Ja>wiyyi>n di Makkah menghubungkan Islam di Negeri Bawah Angin dengan jantung Islam di Timur Tengah.”[27] Namun, tampaknya ini berlaku hanya pada abad ke-17 dan ke-18 sebagaimana fokus kajian Azra, dan tentu saja belum tentu berlaku pada abad selanjutnya. Misalnya, Burhanudin menunjukan kekuatan kesimpulannya dengan bukti teks Hikayat Pocut Muhamad yang dikarang oleh seorang ulama Lam Rukam, yang menggambarkan situasi memalukan di Kerajaan Aceh. Teks ini menghadirkan suara kritis dari seorang pimpinan agama terhadap elite politik tentang kemunduran Aceh di akhir abad ke-18 ketika Kerajaan Aceh mengalami konflik internal di antara elit kerajaan. Teks ini, lanjut Burhanudin, mengekspresikan pandangan politik baru yang muncul dari ulama Aceh yang kebanyakan tinggal di wilayah-wilayah yang jauh dari istana kerajaan. Alih-alih menandai relasi agama-politik sebagaimana dalam teks al-Mawa>hib  dan Ta>j al-Salatin, Hikayat Pocut Muhamad justeru mengambil jarak dari istana, mereka bahkan mulai mengkritik para penguasa. Apa sebab? Zaman telah berubah, seiring kondisi internal Aceh yang tengah konflik, VOC masuk dan mempengaruhi.[28] Jadi tegasnya, ulama-ulama tidak perlu lagi memusatkan perhatian atau meminta fatwa dari ulama Makkah, tetapi cukup memperhatikan perkembangan konteks internal negerinya, untuk memberikan pendapat dan pemikirannya tentang politik kerajaan. Mungkin kekecualian bagi teks Muhimmah al-Nafa>’is. Ini perlu ulasan lebih lanjut. Poinnya adalah untuk mendudukan kesimpulan atau asumsi-asumsinya, Burhanudin selalu berusaha mengajukan teks atau manuskrip sebagai bukti yang memperkuat kedudukan kesimpulannya. Jadi, historiografi ulama menjadi semakin orisinal hasilnya oleh karena didukung dengan bukti-bukti yang juga layak dianggap orisinal.

Pengetahuan, Kuasa dan Otoritas
Judul asli buku Ulama dan Kekuasaan adalah “Islamic Knowledge, Authority and Political Power: The ‘Ulama in Colonial Indonesia,” yang merupakan sebuah karya disertasi penulisnya. Dari judul ini setidaknya ada tiga kata kunci ketika membahas ulama pada masa kolonial di Indonesia, yakni pengetahuan Islam, kuasa dan otoritas. Artinya, dari masa ke masa, ulama Indonesia mencoba mempertahankan otoritasnya sebagai elit agama melalui kuasa pengetahuannya. Melalui pengetahuannya, ulama senantiasa mengaktualisasikan tradisinya agar otoritasnya senantiasa terjaga. Tradisi dimaksudkan di sini sebagai sebuah aktivitas mental atau suatu bentuk pemikiran yang dikedepankan ulama dalam upaya merekonstruksi, memodifikasi, berargumentasi dan menemukan realitas masa lalu atas dasar argumen kontemporer.[29]
Adanya relasi kuasa dengan pengetahuan, membawa kita pada satu teorisasi Michael Foucault mengenai relasi kuasa-pengetahuan. Foucault berpendapat, sebagaimana dikutip oleh Alexander Aur,[30] bahwa “kekuasaan dan pengetahuan secara langsung saling menyatakan antara satu dengan yang lain.” Kekuasaan dan pengetahuan, melalui diskursus, saling mengandaikan atau saling bertautan erat. Ia juga menekankan kekuasaan dan proses historis. Kekuasaan adalah suatu situasi strategis yang kompleks dalam suatu masyarakat. Kekuasaan adalah soal praktek yang terjadi dalam suatu ruang lingkup tertentu, di mana dalam ruang lingkup tersebut ada banyak posisi yang strategis berkaitan satu dengan yang lain dan senantiasa mengalami pergeseran. Strategi berlangsung di mana-mana. Kekuasaan tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, melainkan melalui normalisasi dan regulasi.[31] Oleh karena kekuasaan tidak mengacu pada satu sistem umum dominasi, dan lebih merupakan “situasi strategis,” maka bagi ulama untuk selalu mengaktualkan dirinya, ia harus menemukan situasi strategis tradisinya dalam menghadapi berbagai tantangan zaman. Maka, ulama selalu berkuasa—dengan pengetahuannya—mendefinisikan diri dan tradisinya di tengah perubahan sosial dan budaya.
Di sinilah kemudian sampai pada apa yang disebut dengan arkeologi pengetahuan (The Archeology of Knowledge), sebagaimana yang diajukan juga oleh Foucault. Tidak seperti sejarah pemikiran konvensional yang menggunakan konsep “evolusi,” “kontinuitas,” dan “totalisasi,” sejarah pemikiran dalam konsep arkeologi pengetahuan menyangkut empat prinsip: pertama, ia tidak mencari penemuan-penemuan, melainkan berusaha memperlihatkan keajekan suatu praktek diskursif (the regularity of discursive practice); kedua, memperhatikan kesatuan mendalam suatu diskursus dan kontradiksi-kontradiksi fundamennya; ketiga, analisis arkeologis menyangkut perbandingan, yakni perbandingan antara praktik diskursif yang satu dengan yang lainnya. Arkeologi pengetahuan bermaksud memperlihatkan relasi-relasi antara sejumlah bentuk diskursif tertentu; keempat, analisis arkeologis melukiskan juga perubahan sebagai bentuk transformasi.[32] Melalui empat prinsip ini, saya memandang bahwa Ulama dan Kekuasaan sebagai sebuah arkeologi pengetahuan.
Sebagaimana disebutkan bahwa Ulama dan Kekuasaan, dalam tingkat tertentu, melanjutkan karya-karya historiografi sebelumnya tentang ulama, seperti terutama studi Azra. Karena ia tidak berusaha menemukan suatu praktek diskursif, tetapi berusaha melihat keajekan diskursif. Apa diskursif itu? Ia adalah suatu reformulasi tradisi ulama yang ajek. Dengan sendirinya meski terdapat perbedaan-perbedaan respon ulama dalam menghadapi perubahan sosial budaya, itu hanya ditingkat permukaan saja (praktik diskursif permukaan), sedangkan yang terdalam dari semua itu adalah reformulasi tradisi. Karenanya, dalam praktik-praktik diskursif ulama dalam reformulasi tradisi di tingkat permukaan yang berbeda-beda senantiasa diperbandingkan. Selain itu Ulama dan Kekuasaan juga melukiskan transformasi tradisi yang dilakukan ulama. Reformulasi tradisi tentu saja merupakan upaya transformasi tradisi dalam menghadapi perubahan-perubahan sosial-budaya. Keajekan itu akhirnya menyarankan pada sebuah paradigma kultural yang dipakai ulama untuk memahami realitas, sebuah kelompok nilai dan norma yang menjadi pijakan ulama mendefinisikan tradisi Islam bagi kaum Musim Indonesia.[33] Tampak, Burhanudin memang menulis sejarah microscopic­—sebagaimana yang dianjurkan oleh Foucault, sejarah dengan topik spesifik, satu topik khusus dengan dinamika internalnya.[34] Burhanudin menulis satu topik khusus, yakni tentang ulama dan dinamika internalnya dalam merespon perubahan, melalui reformulasi tradisi. Reformulasi tradisi tersebut adalah bagian dari upaya penempatan situasi strategis otoritas ulama di tengah perubahan.

Catatan Penutup
Buku ini memandang ulama secara positif sekaligus kritis. Burhanudin melihat ulama sebagai salah satu faktor pendukung utama dalam pembentukan Indonesia di masa depan. Mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, sehingga keagamaan mereka menjadi faktor penentu pembentukan gambaran sosial-politik Indonesia di masa depan, dan ulama memegang peranan strategis dalam pembentukan religiusitas umat Muslim. Ulama juga ikut andil dalam memperkuat proses demokrasi dalam perpolitikan Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya kalangan ulama muda, baik yang berafiliasi dalam organisasi NU dan Muhammadiyah, yang ikut serta dalam upaya menjadikan demokrasi bekerja dalam perpolitikan Indonesia. Di luar organisasi NU dan Muhammadiyah, para ulama yang terhimpun dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang disponsori pemerintah, dirancang untuk memfasilitasi komunikasi dua arah antara kepentingan pemerintah dengan masyarakat Muslim. Ini bisa dilihat dari fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh MUI.[35] Meskipun demikian, Burhanudin mengkritik bahwa MUI dalam perkembangannya sangat kuat berada di bawah pengaruh Pemerintah Orde Baru, dan lebih sebagai “agen” yang menerjemahkan kebijakan pemerintah ke dalam bahasa yang dipahami umat Islam. Tentu saja ini berubah saat reformasi bergulir, yang alih-alih menjadi “agen” pemerintah, MUI menjadi pelayan umat, tetapi tetap saja, menurut Burhanudin, kebanyakan fatwa-fatwa MUI terkini gagal diterima semua kalangan Muslim Indonesia, dan tampak lebih mendukung aspirasi Islam dan tokoh-tokoh Islam beraliran konservatif. Maka, ulama dengan basis organisasi NU dan Muhammadiyah malah lebih diterima oleh masyarakat.
Terakhir, hal yang menjadi catatan berikutnya adalah, Burhanudin tidak memberikan pengertian atau kriteria ulama yang menjadi fokus kajiannya, atau setidaknya memeberikan alasan pemilihan istilah atau konsep ulama yang dikaji, sebagaimana dilakukan oleh Yudi Latif ketika mengkaji  intelegensia Muslim Indonesia, yang memberikan argumen pemilihan istilah intelegensia dari pada intelektual.[36] Di sisi lain, kajian Burhanudin tetap menyisakan serangkaian riset-riset lanjutan mengenai tokoh-tokoh agama Islam di tingkat lokal, yang boleh jadi lebih dikenal oleh masyarakat setempat tetapi belum banyak dikaji.

Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. 2011. “Lombard, Mazhab Annales, dan Sejarah Mentalitas Nusa Jawa,” dalam Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard, eds. Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary. Jakarta: EFEO.  
Aur, Alexander. 2005. “Pascastrukturalisme Michel Foucault dan Gerbang Menuju Dialog Antarperadaban,” dalam Teori-Teori Kebudayaan, eds. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.  
Azra, Azyumardi. 2002. “Asal-Usul Modernisme Islam: Tiga Jurnal,” dalam Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, Azyumardi Azra. Bandung: Mizan, 2002. 
-------. 2003. Surau: Pendidikan Islam Tradisonal dalam Transisi dan Modernisasi. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2003.
-------. 2006. “Historiografi Islam Indonesia: Antara Sejarah Sosial, Sejarah Total, dan Sejarah Pinggir,” dalam Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, eds. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF. Jakarta: Mizan, 2006.
-------. 2011. “Historiografi Kontemporer Indonesia,” dalam Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard, eds. Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary. Jakarta: EFEO.
-------. 2013.  Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, edisi Perenial. Jakarta: Prenada Media Group.
Burhanudin, Jajat. 1994. “Penemuan Bangsa Melayu,” dalam Jurnal Studia Islamika, Vol. 3, No. 4.
-------. 2012. Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia. Jakarta: Mizan Publika.
Fathurahman, Oman. 2010. “Jawharat al-ma‘a>rif: Mempertegas Identitas Kesultanan Islam Melayu,” dalam Iman dan Diplomasi: Serpihan Sejarah Kerajaan Bima, Henri Chambert-Loir dkk. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, EFEO, dan Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Geertz, Clifford. 1960a. “The Javanese Kijaji: the Changing Role of a Cultural Broker,” dalam Comparative Studies in Society and History, Vol. 2, No. 2.
-------. 1960b. The Religion of Java. Chicago and London: The University of Chicago Press.
Hobsbawm, E., and T. Ranger. 1983. The Invention of Tradition. Cambridge: Cambridge University Press.
Jabali, Fuad. 2010. “Manuskrip dan Orisinalitas Penelitian,” dalam Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 8,. No.1. 
Kaptein, N.J.G. 1997. The Muhimmat al-Nafa>’is: A Bilingual Meccan Fatwa Collection for Indonesian Muslims from the End of the Nineteenth Century. Jakarta:INIS.
Kuntowijoyo. 2008.  Penjelasan Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.  
Lacapra, Dominick. 1983. Rethinking Intellectual History: Texts, Contexts and Languange. Ithaca New York: Cornell University.  
Latif, Yudi. 2005.  Intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan.
Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya:Batas-Batas Pembaratan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mudzhar, Mohammad Atho. 1993. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975 – 1988. Jakarta: INIS. 
Ricklefs, M.C. 2005.  Sejarah Indonesia Modern: 1200 – 2004. Jakarta: Serambi.
Steenbrink, Karel A. 1994. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES.
Winstedt, R.O. 1970. A History of classical Malay Literature (New York etc: Oxford University Press).

            
     
 



[1]Geertz berpandangan bahwa peran kiai berubah dari semata-mata sebagai perantara dalam mengkomunikasikan dan menyesuaikan doktrin-doktrin Islam ke dalam praktik dan keyakinan lokal masyarakat Jawa, kepada fungsi yang membuat mereka terlibat sebagai perantara isu politik nasionalisme bagi penduduk desa. Lihat Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1960), dan Clifford Geertz, “The Javanese Kijaji: the Changing Role of a Cultural Broker,” dalam Comparative Studies in Society and History , Vol. 2 No. 2 (1960), h. 228-249
[2]Satu karya penting tentang sejarah surau yakni Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisonal dalam Transisi dan Modernisasi (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2003).
[3]Penting diperhatikan, yang dimaksud dengan komunitas Jawi dan jaringan ulama Nusantara dengan Timur Tengah, adalah berbeda dengan komunitas Jawi dan jaringan ulama sebagaimana yang dikaji oleh Azra dalam Jaringan Ulama. Hal ini karena jika kajian Azra lebih terfokus pada abad ke-17 dan ke-18, sedangkan yang dimaksud dengan Burhanudin adalah yang terjadi pada abad ke-19. Burhanudin pun membahas ulama-ulama yang terlibat dalam jaringan dengan ulama Timur Tengah pada abad ke-17 dan ke-18, sebagaimana yang dimaksud dengan Azra, pada bab 2.   
[4]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, edisi Perenial (Jakarta: Prenada Media Group, 2013).
[5]Salah satu perubahan tampak ditunjukkan dalam kajian Azyumardi Azra tentang kemunculan jurnal Al-Imam di Singapura dan jurnal Al-Munir di Padang sebagai akibat pengaruh jurnal Al-Manar yang diterbitkan oleh Rasyid Ridha murid Muhammad Abduh di Mesir. Lihat Azyumardi Azra, “Asal-Usul Modernisme Islam: Tiga Jurnal,” dalam Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, Azyumardi Azra (Bandung: Mizan, 2002).  
[6]Salah satu buku penting tentang perubahan-perubahan sistem pendidikan pesantren adalah Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1994).
[7]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, h. xxv.  
[8]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, h. xxiv
[9]Azyumardi Azra, “Historiografi Islam Indonesia: Antara Sejarah Sosial, Sejarah Total, dan Sejarah Pinggir,” dalam Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, eds. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (Jakarta: Mizan, 2006), dan Azyumardi Azra, “Historiografi Kontemporer Indonesia,” dalam Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard, eds. Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (Jakarta: EFEO, 2011).
[10]Jajat Burhanudin, “Penemuan Bangsa Melayu,” dalam jurnal Studia Islamika, Vol. 3, No. 4 (1994), h. 219. Tulisan ini adalah sebuah telaah atas buku A.C.Milner yang berjudul The Invention of Politics in Colonial Malaya. Menurut Burhanudin, Milner telah menggunakan pendekatan sejarah intelektual dalam menulis sejarah bangsa Melayu di masa kolonial.
[11]Jajat Burhanudin, “Penemuan Bangsa Melayu,” h. 218.
[12]Jajat Burhanudin, “Penemuan Bangsa Melayu,” h. 215.
[13]Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia (Jakarta: Mizan Publika, 2012), h. 9 – 10.
[14]Dominick Lacapra, Rethinking Intellectual History: Texts, Contexts and Languange (Ithaca New York: Cornell University, 1983), h. 35.  
[15]Dominick Lacapra, Rethinking Intellectual History, h. 36.  
[16]Dominick Lacapra, Rethinking Intellectual History, h. 36 – 52.  
[17]Jajat Burhanudin, “Penemuan Bangsa Melayu,” h. 216.  
[18]Mengenai ulasan tentang sejarah dengan paradigma Annales, dapat dibaca dalam Taufik Abdullah, “Lombard, Mazhab Annales, dan Sejarah Mentalitas Nusa Jawa,” dalam Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard, eds. Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (Jakarta: EFEO, 2011).  
[19]Satu contoh karya sejarah dengan paradigma Annales ini adalah karya Denys Lombard tentang sejarah Jawa. Ia pertama-tama membahas terlebih dahulu pertimbangan-pertimbangan geo-historis sebagai struktur dasar sebelum kemudian membahasa relasi-relasi sosial dan ekonomi, baik relasi Jawa dengan bangsa-bangsa dan budaya Barat, bangsa-bangsa dan budaya Islam, maupun dengan bangsa-bangsa dan budaya India. Inilah yang disebut dengan lapisan geologis sejarah Jawa. Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya:Batas-Batas Pembaratan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005).  
[20]Fuad Jabali, “Manuskrip dan Orisinalitas Penelitian,” dalam Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 8,. No.1 (2010). Klaim orisinalitas penelitian setidak dapat didasarkan pada tiga hal, pertanyaan atau permasalahannya yang baru, metodologinya yang baru, dan sumber penelitiannya yang baru.
[21]Fuad Jabali, “Manuskrip dan Orisinalitas Penelitian,” h. 5.
[22]N.J.G Kaptein, The Muhimmat al-Nafa>’is: A Bilingual Meccan Fatwa Collection for Indonesian Muslims from the End of the Nineteenth Century (Jakarta:INIS, 1997).
[23]M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200 – 2004 (Jakarta: Serambi, 2005), hal. 111.  
[24]R.O Winstedt, A History of classical Malay Literature (New York etc: Oxford University Press), h. 97.
[25]Oman Fathurahman, “Jawharat al-ma‘a>rif: Mempertegas Identitas Kesultanan Islam Melayu,” dalam Iman dan Diplomasi: Serpihan Sejarah Kerajaan Bima, Henri Chambert-Loir dkk (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, EFEO, dan Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2010).
[26]Jajat Burhanudin, “Penemuan Bangsa Melayu.”  
[27]Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, h. 29.
[28]Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, h. 66 – 70.  
[29]Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, h. 8. Pemahaman tradisi seperti ini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Hobswan. Lihat E. Hobsbawm, and T. Ranger, The Invention of Tradition (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), h. 2 – 4.
[30]Alexander Aur, “Pascastrukturalisme Michel Foucault dan Gerbang Menuju Dialog Antarperadaban,” dalam Teori-Teori Kebudayaan, eds. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005), h. 151.   
[31]Alexander Aur, “Pascastrukturalisme Michel Foucault dan Gerbang Menuju Dialog Antarperadaban,” h. 150 dan 154.
[32]Alexander Aur, “Pascastrukturalisme Michel Foucault dan Gerbang Menuju Dialog Antarperadaban,” h. 159.
[33]Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, hal. 8.   
[34]Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), h. 76.  
[35]Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975 – 1988 (Jakarta: INIS, 1993). Fatwa-fatwa yang terkait dengan masalah-masalah sosial-budaya yang juga menjadi problem dan kebijakan pemerintah adalah: fatwa tentang keluarga berencana, fatwa tentang golongan kecil Islam, dan fatwa tentang masalah kedokteran.  
[36] Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20 (Bandung: Mizan, 2005).

(Tulisan ini terbit dalam Jurnal Lektur Keagamaan tahun 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar